Majelis Dikdasmen PWM DIY melangsungkan Sarasehan Pendidikan Muhammadiyah dengan tajuk “Paradigma Pendidikan Muhammadiyah Holistik Integratif” pada 30 November 2022 di Aula Gedung PWM DIY. Pertemuan tersebut turut mengundang Majelis Dikdasmen PDM se-DIY serta Kepala Sekolah yang menjadi ranah kerja Dikdasmen PWM DIY. Pertemuan tersebut selain dimaksudkan sebagai bagian dari rangkaian Musywil PWM DIY, juga menjadi penting guna melaksanakan amanat Muktamar Muhammadiyah 48 di bidang pendidikan, khususnya penegasan tentang paradigma pendidikan holistik-integratif.
Sarasehan tersebut menghadirkan Dr. M. Busyro Muqoddas, M.H. (Ketua PP Muhammadiyah), Wawan Gunawan Abdul Wahid, L.c., M.Ag. (Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan MTT PP Muhammadiyah), dan Prof. Tasman Hamimi, M.A. (Wakil Ketua PWM DIY) sebagai narasumber. Ketiga narasumber menegaskan arti penting pendidikan holistik-integratif ala Muhammadiyah, termasuk juga menolak upaya-upaya pemisahan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama.
Pemisahan pendidikan umum dengan pendidikan agama sama dengan 100 tahun kemunduran Muhammadiyah, mengingat paradigma holistik-integratif secara historis merupakan gagasan penting Kiai Dahlan dalam mengawinkan sistem pendidikan tradisional yang bermuatan ilmu agama dengan pendidikan modern Belanda yang netral agama. Busyro Muqoddas misalnya, menyampaikan bahwa belakangan ini orientasi pendidikan di Indonesia mengarah pada orientasi politik sekular-liberal berparadigma industri.
Pada bagian yang lain pula, Busyro Muqoddas merespon upaya pemisahan LP2M dari Majelis Dikdasmen, beliau mengkhawatirkan potensi politisasi pesantren yang seringkali dijadikan ladang bisnis isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Baginya, pemisahan pendidikan model pesantren dengan sekolah umum di Muhammadiyah bukan hanya persoalan struktur belaka, lebih jauh juga mesti membaha tentang muatan yang akan ada di dalamnya. Hal tersebut tergambar dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul, misalnya: Apakah ia akan menggunakan kurikulum Islam Moderat?Paradigma apa yang akan digunakan, dan apakah dapat menghadirkan Islam dengan nilai-nilai kebangsaan?
Tasman Hamimi membahas lebih sistematis dalam penyampaian materinya, beliau kembali meneguhkan sistem holistik-integratif sebagai sistem pendidikan Muhammadiyah guna menangkal berbagai potensi yang akan timbul di tubuh Persyarikatan jika paradigma ini dikesampingkan dari sistem pendidikan Muhammadiyah. Potensi-potensi yang muncul mengarah pada satu bentuk persoalan yang sama, yakni tranformasi ideologi yang tidak sejalan dengan Muhammadiyah, politisasi pendidikan, dan sekularisasi, hal ini timbul mengingat pendidikan merupakan hal yang paling mungkin digunakan untuk proses penyebaran ideologi tertentu.
Sementara Wawan Gunawan membahas lebih detail mengenai persoalan ideologi-ideologi tertentu yang berpotensi “masuk” ke tubuh pendidikan dalam perspektif tarjih dan tajdid Muhammadiyah. Baginya, pemisahan antara lembaga pendidikan umum dengan pendidikan agama di Muhammadiyah sejak awal sudah tidak sejalan dengan model pendidikan Muhammadiyah. Senada dengan yang telah disampaikan dua narasumber sebelumnya, holistik-integratif selain sebagai paradigma pendidikan Muhammadiyah, juga merupakan paradigma keagamaan Muhammadiyah.
Sarasehan Pendidikan Muhammadiyah dengan tajuk “Paradigma Pendidikan Muhammadiyah Holistik Integratif” tersebut kemudian diakhiri dengan diskusi bersama, sekaligus pembentukan tim kecil guna merumuskan poin-poin penting pertemuan agar dapat dijadikan sebagai rekomendasi bagi PP Muhammadiyah. (Syauqi)