Dikdasmen PNF DIY – Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai keynote speaker dalam kegiatan pelatihan dan peningkatan komptensi pimpinan sekolah yang diselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen dan PNF PWM D.I. Yogyakarta membahas tentang ke mana semestinya arah pendidikan Muhammadiyah akan dikembangkan.
Bagi Abdul Mu’ti, pertanyaan semacam itu menjadi penting untuk disampaikan di awal. Pertanyaan sederhana tersebut kemudian meniscayakan berbagai dinamika dan kreativitas agar pendidikan Muhammadiyah menjadi unggul-berkemajuan, tidak stagnan dan diam di tempat.
Unggul jika diukur secara sederhana dapat diartikan sebagai keadaan di mana pendidikan kita ada di atas ukuran rata-rata. Sementara berkemajuan diartikan sebagai leading, memimpin, atau selalu berada di depan.
“Untuk menjadi unggul kita harus terlebih dahulu mengerti di mana posisi kita dan di mana posisi yang lainnya. Sejak awal ideologi dasar Muhammadiyah mensyaratkan tersebut. Belakangan kemudian disebut sebagai ideologi amal saleh dan fastabiqul khairat,” tutur Abdul Mu’ti.
Selain itu, Abdul Mu’ti juga membahas 4 nilai dasar yang mesti jadi pijakan awal pengelolaan AUM, termasuk dalam sektor pendidikan. 4 nilai dasar tersebut disarikan dari ideologi amal saleh dan fastabiqul khairat tersebut. Pertama, pentingnya menyadari agar senantiasa beramal dengan ikhlas. Kedua, menerapkan kerja-kerja profesional dalam tata kelola sekolah/madrasah.
Selanjutnya Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu menegaskan bahwa pendidikan Muhammadiyah harus senantiasa memberikan manfaat dan maslahat bagi banyak masyarakat dalam rangka menegakkan prinsip Islam sebagai agama rahmat. Adapun dimensi terakhir ialah ishlah, dimensi pembaruan agar pendidikan Muhammadiyah memiliki kekhasan dan karakternya sendiri.
“Lembaga pendidikan Muhammadiyah harus memiliki makna, harus mempunyai nilai khas dan karakteristik tersendiri, serta yang tak kalah penting ialah pendidikan Muhammadiyah harus senantiasa bermanfaat, dibutuhkan, dan dapat dijangkau oleh setiap masyarakat,” imbuh Abdul Mu’ti.
Abdul Mu’ti dalam materinya juga mendorong agar tak senantiasa bias dalam mengukur keunggulan pendidikan. Hal ini menjadi penting, pasalnya belakangan ini keunggulan pendidikan di Indonesia hanya diukur melalui akreditasi, capaian nilai ujian, dan jumlah lulusan yang berhasil diterima di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
“Sekolah Muhammadiyah harus punya keunggulannya sendiri, jangan ikut arus,” tegas Abdul Mu’ti.
Abdul Mu’ti juga membahas perihal pembaharuan pendidikan nasional, baik pendidikan umum maupun keagamaan, yang dimulai dari Yogyakarta dan Muhammadiyah. Hal itu yang kemudian sejak awal diajarkan Kiai Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah, membuat madrasah yang menyatukan kurikulum pendidikan umum dengan kurikulum pesantren.
“Perbedaan bentuk dan muatan isi pendidikan Muhammadiyah yang sejak awal dilakukan oleh Kiai Dahlan inilah yang menjadi cikal-bakal pembaharuan pendidikan nasional sekaligus menjadi nilai yang tetap dipertahankan dalam jalannya pendidikan Muhammadiyah,” tutup Abdul Mu’ti. (sya)