Yogyakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dr. Agus Taufiqurrahman, Sp.S., M.Kes., menegaskan peran strategis guru sebagai ujung tombak pembangunan peradaban bangsa. Hal ini disampaikan dalam pembukaan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pembelajaran Mendalam, Koding dan Kecerdasan Artifisial, serta Penguatan Pendidikan Karakter di Hotel Grand Mercure Yogyakarta, Rabu (17/9/2025).
“Islam sangat memuliakan guru. Bahkan mata rantai keilmuan tertinggi itu adalah guru,” tutur Ketua Bidang Pembinaan, Kesehatan Umum, Kesejahteraan Sosial, dan Resiliensi Bencana kepada 200 guru SD/SMP/SMA/SMK Muhammadiyah se-DIY.
Agus menjelaskan, selaras dengan pesan Rasulullah Saw., “Jadilah orang alim,” yang bermakna menjadi guru atau pengajar. Jika seseorang belum mampu menjadi guru karena keterbatasan ilmu, lanjutnya, Nabi menganjurkan, “Jadilah murid”.
“Bila tidak bisa menjadi murid secara formal, jadilah pendengar yang baik ketika ilmu disampaikan,” kata Agus. Ia menambahkan, bila hal itu pun belum mampu dilakukan, setidaknya jadilah pencinta ilmu, pencinta majelis ilmu, atau pencinta orang-orang berilmu.
“Namun Rasulullah Saw. mengingatkan agar menjauhi kelompok kelima, yaitu orang yang pintar tetapi tidak mau berbagi ilmu dan tidak mencintai majelis ilmu,” tegasnya.
Tiga Prinsip Pembelajaran Berkualitas
Dalam arahannya, Agus menyampaikan tiga prinsip untuk mewujudkan pembelajaran berkualitas yang perlu dilakukan para guru Muhammadiyah. Pertama, guru harus menerapkan pembelajaran yang berkesadaran, yaitu dengan menanamkan kesadaran spiritual bahwa belajar merupakan bagian dari ibadah.
“Spirit Islam luar biasa dalam membangun kesadaran belajar. Ketika orang malas belajar, dikatakan bahwa belajar itu bagian dari ibadah,” jelasnya dengan mengutip hadis Rasulullah Saw. “Orang yang pergi menuntut ilmu, ia berada di jalan Allah sampai pulangnya. Barangsiapa keluar dari rumah tujuannya hadir di majlis ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan ke surga.”
“Ketika kita mengajar, sebetulnya kita sedang membangun peradaban. Saya selalu menanamkan kepada diri saya bahwa saya sedang membekali calon pemimpin bangsa. Kenapa? Karena saya yakin sebentar lagi anak-anak itu akan menjadi pemimpin bangsa ini,” ungkapnya.
Prinsip kedua adalah bermakna, yakni memberikan makna pada setiap pembelajaran agar siswa tertarik dan memahami manfaatnya. Ia meyakini, ketika pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan, siswa merasa butuh ilmu tersebut.
Prinsip ketiga adalah mengembirakan, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sesuai pesan Nabi kepada para sahabat. Agus menekankan bahwa pembelajaran menjadi mudah ketika murid sudah tertarik, dan mereka akan tertarik jika diberi makna yang tepat.
“Gembirakan, jangan buat orang lari, dan mudahkan, jangan dipersulit. Konon, orang tidak suka matematika karena gurunya mengajarkan tidak menarik. Ketika pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata, siswa akan merasakan kebutuhan akan ilmu tersebut,” pesannya.
Pentingnya Pendidikan Karakter di Era Digital
Menyoroti tantangan teknologi, pihaknya juga menekankan pentingnya pendidikan karakter dalam menghadapi tantangan zaman, terutama bahaya manipulasi informasi di era Artificial Intelligence (AI).
“Anak-anak yang tidak bisa lepas dari gadget bisa saja menganggap semua yang ada itu nyata, padahal bisa direkayasa. Karena itu kita perlu mengenalkan dasar-dasar AI kepada mereka,” pesan Agus.
Menurut Agus, ada sebuah prinsip penting dalam pendidikan karakter. “Ketika ada anak nyontek, saya sangat mendukung untuk menggugurkannya dari proses pembelajaran. Ini karena mendidik karakter lebih susah daripada mengajari anak mendapat nilai 90,” pungkasnya. (guf)