Yogyakarta – Membangun budaya sekolah yang kondusif menjadi kunci utama dalam mewujudkan ekosistem pendidikan berkualitas di lingkungan sekolah/madrasah Muhammadiyah.
Hal itu disampaikan Dr. Farid Setiawan, M.Pd.I selaku Wakil Sekretaris PWM DIY dalam kegiatan Evaluasi dan Refleksi Pendidikan Muhammadiyah yang diselenggarakan Majelis Dikdasmen PNF PWM D.I. Yogyakarta, Selasa (5/8/2025) di Dormitory UMY.
Dalam paparannya bertajuk “Kultur Sekolah/Madrasah Muhammadiyah”, Dr. Farid menekankan pentingnya budaya sekolah/madrasah sebagai fondasi pembentukan karakter dan peningkatan mutu pendidikan.
“Budaya itu bisa kita maknai sebagai tata nilai, tata nilai normal yang diakini dan mendorong seseorang, komunitas, termasuk juga sekolah, madrasa kita untuk melakukan sesuatu. Dan itu dilakukan secara berulang-ulang,” jelasnya.
Menurut Dr. Farid, terdapat tiga jenis budaya yang berkembang di sekolah, yaitu budaya positif, negatif, dan netral. Budaya positif merupakan aktivitas keseharian yang dilakukan seluruh warga sekolah dan berorientasi pada peningkatan kualitas mutu pendidikan.
“Misalnya doa bersama, kemudian senyum sapa, tadarus, menjaga kebersihan, dan sebagainya. Termasuk ketika guru bertemu di ruang guru, bicara tentang program pengembangan akademik, bukan ngomongin orang lain,” papar dosen FAI UAD yang juga praktisi Pendidikan itu.
Sementara budaya negatif, lanjut Dr. Farid, adalah kebiasaan yang tidak mendukung peningkatan kualitas akademik, bahkan dapat merusak iklim sekolah. Adapun budaya netral merupakan aktivitas yang ada di sekolah namun tidak berorientasi langsung pada peningkatan mutu, seperti arisan atau silaturahmi guru.
Dr. Farid juga menyoroti pentingnya menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman bagi siswa. Pihaknya menegaskan, sekolah yang baik adalah yang mampu menjadikan siswa merasa betah dan menganggap sekolah sebagai rumah kedua.
“Anak itu kalau nyaman, bahagia, dan menjadikan sekolah-madrasah sebagai rumah keduanya, dia akan sulit untuk bicara tentang aktivitas di luar itu. Diajak keluar pun akan bilang, ‘nanti dulu, saya masih ada tugas’,” ungkapnya.
Indikator sederhana sekolah yang kondusif menurut Dr. Farid adalah ketika siswa merasa nyaman berada di lingkungan sekolah, kreativitas mereka terakomodir, dan diberikan ruang untuk berekspresi meski tetap terkendali. Terkait kedisiplinan, Dr. Farid menggarisbawahi pentingnya komitmen bersama dari seluruh warga sekolah, termasuk pimpinan sekolah.
“Untuk membangun kedisiplinan, gerbangnya ditutup dan itu tidak hanya bagi siswanya, tapi juga bagi gurunya. Bagi semuanya, termasuk kepala sekolahnya. Itu komitmen bersama-sama,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Farid juga menekankan pentingnya sinergi antara empat pilar Pendidikan yaitu sekolah, keluarga, masyarakat, dan masjid. Menurutnya, keempat aspek ini harus diintegrasikan untuk menciptakan pendidikan yang optimal.
“Empat pilar ini harus kita perhatikan secara serius. Di sekolah sudah bagus, tapi di rumah berbeda. Problemnya ada pada relasi sekolah/madrasah dengan keluarga yang harus ditingkatkan,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Dr. Farid menambahkan, sekolah perlu mengubah paradigma dengan tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga melakukan edukasi kepada orang tua agar tercipta sinergi peran antara institusi sekolah dengan keluarga.
“Jangan sampai perhatian kita hanya saat anak di sekolah, sementara lingkungan keluarga kurang mendukung. Edukasi harus menyentuh anak dan orang tua,” pesannya.
Melalui kegiatan evaluasi dan refleksi ini, Majelis Dikdasmen PWM D.I. Yogyakarta berharap dapat meningkatkan kualitas pendidikan Muhammadiyah melalui penguatan budaya sekolah yang positif dan kondusif bagi seluruh warga sekolah. (guf)