Yogyakarta – Staf Khusus Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Arif Jamali Muis, M.Pd., yang juga menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY, membagikan resep growth mindset dalam mengelola sekolah/madrasah Muhamamdiyah.

Pernyataan tersebut di sampaikan saat menjadi keynote speaker dalam Workshop “Kolaborasi, Sosial Emosi, dan Inovasi untuk Sekolah/Madrasah Unggul Berkemajuan”.  Kegiatan Penguatan Leadersip Kepala SMP/MTs Muhammadiyah yang digelar Majelis Dikdasmen PNF PWM DIY di Kaliurang.

“Sekolah yang maju itu pasti dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang punya pola pikir bertumbuh. Tidak ada rumusnya sekolah itu maju dipimpin oleh kepala sekolah yang pikirannya stuck mindset,” tegas Arif dalam pemaparannya bertajuk “Sekolah Unggul Berkemajuan untuk Semua” pada Sabtu, (2-8-2025).

Arif menjelaskan, perbedaan antara fixed mindset dan growth mindset dalam menghadapi tantangan. “Fixed mindset melihat persoalan, ini sulit, ini tidak bisa dilaksanakan. Sedangkan growth mindset, ini sulit tapi sangat mungkin untuk dilaksanakan. Dua hal yang berbeda,” tuturnya.

Dengan memiliki cara berpikir berkembang, sekolah/madrasah Muhamamdiyah harus menjadi pilihan utama ketika sekolah-sekolah negeri tidak mampu memberikan layanan yang diinginkan oleh masyarakat.

“Tidak bisa lagi kita menjadi pilihan kedua. Mindset harus menunjukkan bahwa kita menyediakan layanan yang tidak bisa didapatkan di sekolah negeri,” tegasnya.

Sebagai upaya menjadi pilihan utama, Arif mengingatkan, di era modern ini data memiliki nilai yang sangat berharga. Ia meminta agar para kepala sekolah membiasakan diri mengambil mkeputusan berdasarkan data karena lebih akurat, dibandingkan hanya asumsi atau opini.

“Mulailah sekarang baca data. Tidak lagi bisa berdasarkan hanya asumsi dan opini. Kalau asumsi atau opini itu benar, maka jalannya pasti akan benar. Tapi kalau asumsi dan opini itu salah, keputusannya juga salah. Sedangkan kalau berdasarkan data, kita akan lebih banyak mengambil kebijakan yang hampir bisa dipastikan benar,” paparnya.

Empat Pilar Sekolah Unggul

Lebih lanjut, menurut Arif, ada empat pilar yang menjadi kunci utama agar sebuah sekolah dapat menjadi unggul dan berkemajuan. Pertama, Pembelajaran Bermakna. Ia menekankan, pembeajaran yang berkualitas harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata siswa.

“Pelajaran yang bermakna itu didefinisikan sebagai pelajaran yang relate dalam kehidupan. Pelajarannya bisa diterapkan, bisa diaplikasikan dalam konteks realita kehidupan masing-masing anak. Itu baru bermakna,” jelasnya.

Kedua, Pembelajaran Mendalam (Deep Learning). Konsep ini, menurut Arif, melibatkan pengembangan holistik siswa yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif.  Di mana, pembelajaran bermakna dan mengembirakan itu dengan olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga serta estetik.

Arif mengungkapkan bahwa konsep deep learning sebenarnya sudah dipraktikkan oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dengan pendekatan yang sangat aplikatif, jauh sebelum istilah ini populer.

“KH Ahmad Dahlan mengatakan, apakah orang-orang miskin di sekitar Kauman ini sudah dilayani berdasarkan Surat Al-Ma’un? Kalau belum, maka semua ini adalah pendusta agama. Bayangkan, untuk Surat Al-Ma’un yang hanya 3 ayat diajarkan 7-8 bulan. Itu deep learning banget,” pungkasnya.

Ketiga, Pembelajaran Menyenangkan. Arif menegaskan pentingnya menciptakan atmosfer belajar yang positif dan menyenangkan bagi siswa. “Sekolah harus mengembirakan. Situasi harus mengembirakan karena kalau tidak mengembirakan menjadi beban,” tuturnya.

Keempat, Evaluasi dan Refleksi. Bagi Arif, yang membedakan sekolah unggul adalah kemampuannya untuk tidak hanya mengevaluasi, tetapi juga melakukan refleksi konstruktif. “Kalau evaluasi, ini salah, kemarin begini, ini begini, kelemahannya di sini, berhenti di situ. Tapi jangan berhenti di situ, harus dilanjutkan dengan refleksi. Apa langkah selanjutnya? Apa yang harus kita kerjakan ke depan? Itu refleksi.”

Dihadapan Kepala SMP/MTs Muhammadiyah se-DIY, Arif berpesan, seorang pemimpin diharapkan tidak hanya berfokus pada analisis SWOT yang menurutnya tidak mendukung pola pikir berkembang. Sebagai gantinya, Arif menyarankan agar melakukan pendekatan yang berfokus pada peluang (opportunity), aspirasi, dan hasil (result) yang lebih konstruktif untuk pengembangan sekolah.

“Tinggalkan analisis SWOT karena itu berpijak pada kelemahan dan ancaman. Fokusnya jadi pada kelemahan dan ancaman, itu membuang energi,” pesannya. (guf)