YOGYAKARTA – Hasil Program for International Student Assessment (PISA) menunjukkan posisi Indonesia masih belum menggembirakan. Kondisi ini menandakan proses pendidikan di sekolah masih didominasi pembelajaran mekanistik, sehingga belum sepenuhnya berdampak pada perkembangan anak di masa depan.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PWM DIY), Dr. Muh Ikhwan Ahada, dalam amanhnya usai melantik kepala SMA Muhammadiyah, pada Jumat siang (24/10).
Dr. Ikhwan menilai, perlu adanya pergeseran orientasi pendidikan dari sekadar mengejar nilai akademik menuju pembelajaran yang bermakna, menyentuh kehidupan dan membawa kebahagiaan jangka panjang (eudaimonic well-being).
“Tampaknya, pembelajaran di sekolah saat ini masih bersifat permukaan (surface learning), belum sampai pada tahap yang membentuk kesadaran dan bermakna (deep learning). Padahal, pendidikan seharusnya melahirkan generasi paham akan tujuan belajar dan menjadikannya jalan menuju kebahagiaan sejati,” jelasnya.
Lebih lanjut, pihaknya menyoroti fenomena self-based learning dan gaya hidup individualistik yang kian menguat di era digital. Selain itu, generasi saat ini juga lebih mementingkan kebahagiaan sesaat (hedonic well-being).
Mengutip pemikiran tokoh seperti Herbert Marcuse dan Alvin Toffler, Dr. Ikhwan menyebut, manusia akan tergerus rasa komunalnya. Sehingga lebih banyak hidup sendiri-sendiri, akal budinya akan terdestruksi dan merasa dirinya hidup dalam dunianya sendiri.
“Anak-anak kita semakin asing terhadap lingkungannya. Mereka hidup dalam dunianya sendiri, sibuk dengan gawai, dan kehilangan rasa kebersamaan. Jika dibiarkan tanpa pendampingan, edukasi dan peningkatan literasi, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang hanya mengejar kebahagiaan sesaat, bukan kebahagiaan hakiki,” paparnya.
Dalam pandangan Islam, kata Dr. Ikhwan, Al-Qur’an sudah menegaskan konsep kebahagiaan yang hakiki dan berkelanjutan, seperti termaktub dalam Surah Yunus ayat 58, yakni kebahagiaan yang bersumber dari rahmat Allah Swt.
“Hal itu selaras dengan eudaimonic well-being. Tentang bagaimana manusia memahami sesuatu dan kemudian diamalkan, sehingga menumbuhkan kebahagiaan sejati. Dengan agama hidup terarah, dengan seni hidup indah dan dengan ilmu hidup menjadi terarah dan mudah. Ketiganya ini adalah kunci kebahagiaan,” tuturnya.
Menutup amanahnya, Dr. Ikhwan berharap, pendidikan di lingkungan Muhammadiyah mampu mengubah orientasi generasi muda. Yakni menuntun mereka mencapai kebahagiaan yang berjangka panjang dan memberi efek hingga akhirat.
“Anak-anak yang kita didik hari ini bukan milik kita, melainkan milik zamannya nanti. Tugas kita adalah menyiapkan mereka agar siap menghadapi masa depan dengan iman, akal budi, dan kebahagiaan sejati,” pesannya. (guf)
