Majelis Dikdasmen dan Pendidikan Non Formal PWM D.I. Yogyakarta menggelar pembukaan diskusi dan focus group discussion (FGD) pada Sabtu (19/08/2023) di Grand Rohan Jogja. Acara tersebut bertajuk “Menggali Potensi Keunggulan Sekolah/Madrasah Muhammadiyah”. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Irwan Akib, M.Pd., diundang sebagai keynote speaker pada kegiatan tersebut menegaskan kembali tujuan dari pendidikan Muhammadiyah, yakni membentuk dan mengembangkan kader yang unggul dan berkemajuan.
“Dikutip dari Aristoteles, apa yang terjadi pada masyarakat kini merupakan dampak dari pendidikan yang diperoleh kaum muda di masa lampau,” ungkap Irwan Akib. Jika ditinjau melalui perspektif masa depan, maka Muhammadiyah bisa eksis hingga kini, menginjak usia satu abad lebih, tentulah karena sejak awal Muhammadiyah sudah mengambil peran dalam urusan pendidikan.
“Pendidikan Muhammadiyah memliki fungsi kaderisasi. Sehingga dalam hal ini, Muhammadiyah memandang insan secara total memiliki kekuatan akal budi, moral, dan ilmu pengetahuan yang unggul. Hal tersebut akan dapat diraih jika kita memiliki pondasi iman yang kuat, unggul secara intelektual, mewarisi nilai-nilai kepribadian utama, dan aktif mengambil peran dalam kehidupan kebangsaan,” tutur Irwan Akib.
“Jika hendak disederhanakan, pendidikan kita dimaksudkan untuk memantapkan iman, unggul dalam intelektual, anggun berakhlak, dan sigap berkarya,” tambah Irwan Akib.
Pada mulanya, pendidikan Muhammadiyah merupakan penggabungan dari sistem pesantren yang hanya mengajarkan pendidikan agama dengan sekolah kolonial yang mempelajari ilmu umum tanpa ilmu agama. Maka sejak awal pendidikan Muhammadiyah sudah terpadu.
Landasan filosofis sekolah yang dibentuk Kiai Ahmad Dahlan pada masa-masa awal pendirian Muhammadiyah ialah; holistik dan memandang manusia secara utuh, mengindahkan hakikat manusia, serta transformatif dan berperan aktif dalam tugas sebagai pembawa perubahan. Adapun latar sosial ekonomi dan budaya yang melandasi pendidikan Muhammadiyah adalah teologi Al-Maun dan multikulturalisme. “Maka dalam hal ini, sekolah Muhammadiyah mesti mengusung pendidikan yang unggul, berkemajuan, dan peduli,” ungkap Irwan Akib.
Membangun sekolah artinya menekankan arti penting penegasan peran warga sekolah, keluarga, dan masyarakat secara umum. Dalam perspektif sejarah, upaya untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan sekolah ini pernah dicontohkan oleh Kiai Dahlan.
“Pada Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta, kita menegaskan beberapa pokok pikiran mengenai pendidikan yang kemudian disebut sebagai upaya revitalisasi pendidikan Muhammadiyah. Beberapa hal di antaranya ialah pendidikan menuju pencerahan, kesadaran, dan ketuhanan. Pendidikan Muhammadiyah senantiasa menghidupkan, mencerdaskan, dan membebaskan dari kebodohan dan jurang kemiskinan,” tutur Irwan Akib.
Di akhir, Prof. Irwan Akib menyinggung soal ISMUBA di sekolah Muhammadiyah. Baginya keberadaan ISMUBA bukan cuma sekadar tambahan mata pelajaran. Jauh dari itu, ISMUBA mestilah menjadi napas dan diarahkan sebagai kultur pendidikan Muhammadiyah.
“ISMUBA itu yang dibangun bukan hanya aspek kognitifnya saja. Anak didik lulus mata pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bukan hanya karena meraih nilai A dalam ujian, akan tetapi karena mereka menjadikan nilai-nilai Islam dan Kemuhammadiyahan sebagai napas dan kultur dalam kehidupannya,” tambah Irwan Akib. (syq)